Senin, 18 Februari 2013

Dampak Banjir Terhadap

Banjir yang terjadi di Jakarta awal bulan ini telah memberi dampak negatif paling parah dan lama dibandingkan dengan banjir yang pernah ada dan melanda Jakarta selama ini.
Banyak yang percaya bahwa banjir besar ini merupakan siklus lima tahunan, setelah sebelumnya terjadi pada awal Februari 2002. Efek yang diakibatkannya juga hebat.
Namun, nampaknya tidak banyak pelajaran yang diambil dari akibat banjir-banjir terdahulu, bahkan ruang kosong yang tersisa di Jakarta semakin sedikit, sehingga tidak cukup lahan lagi yang tersedia untuk menyerap air hujan.
Di Bogor juga sama saja, di puncak bukit telah banyak berdiri bangunan. Kondisi ini memudahkan terjadinya longsor dan banjir pada musim hujan. Karena Bogor berada di ketinggian, jelas kawasan ini akan mengalirkan air hujan yang tidak terserap tanah ke Jakarta dan sekitarnya. Akibatnya, hujan yang tidak terlalu lama pada 2 Februari lalu telah membuat 60% wilayah Jabodetabek tenggelam.
Patut diketahui bahwa 90% dari kerugian yang berhubungan dengan bencana alam diakibatkan oleh banjir. Dengan demikian, sudah selayaknya manajemen banjir di Jakarta dibuat secara khusus, agar banjir tidak terjadi berulang-ulang. Harapannya, efeknya tidak lagi memberikan kerugian ekonomi secara signifikan.
Bagi perbankan, manajemen banjir yang baik juga akan mengurangi potensi kerugian yang ditimbulkan dari pemburukan kualitas kredit (non performing loan/NPL), sebagai akibat dari tidak optimalnya operasional bisnis debitor.
Jika dihitung potensi kerugian yang ditimbulkan oleh banjir pada awal Februari yang lalu, dapat dilakukan simulasi perhitungan sebagai berikut. Dari kredit yang sudah disalurkan perbankan sampai November 2006 secara nasional adalah Rp761.563 miliar, di mana 40% di antaranya berada di Jabodetabek.
Sebagai akibat banjir tersebut, 60% Jakarta tenggelam, berarti equivalen sebanyak itu juga bisnis debitor yang menghadapi persoalan operasional. Dengan kata lain, sebanyak 24% (60% dikalikan 40%) debitor akan mengalami kesulitan cash flow untuk memenuhi kewajiban perbankannya.
Kemudian, karena 90% kerugian ekonomi disebabkan oleh bencana alam adalah kerugian yang diakibatkan oleh banjir, berarti sebesar 21,6% (90% dikalikan 24%) kredit yang ada di Jakarta berpotensi untuk menjadi bermasalah. Artinya, bank akan membukukan kerugian (biaya), karena pembentukan cadangan atas kreditnya.
Dalam rupiahnya adalah sekitar Rp164.498 miliar. Jika perbankan membukukan pencadangannya sebesar rata-rata 50% saja (kalau kredit dengan kolektibilitas macet, pencadangan biaya menjadi 100%), potensi kerugian adalah sekitar Rp80 triliun, suatu jumlah yang sangat fantastis. Selanjutnya, berapa kesempatan kerja yang hilang, baik yang permanen maupun untuk sementara.
Pada akhirnya, ini akan menciptakan multiplier effect, di mana sektor riil akan kembali terpuruk, terutama untuk yang di Jakarta. Padahal, sektor riil saat ini memang belum bangkit, terbukti absorbsi kredit oleh mereka rata-rata secara nasional baru sekitar 67%.
Restrukturisasi
Untuk mengantisipasi kerugian tersebut bagi pihak perbankan, restrukturisasi kredit harus dilakukan. Dan, restrukturisasi kredit ini harus dilakukan per masing-masing debitor, sesuai dengan kondisi usahanya dan proyeksi cash flow yang akan dihasilkan.
Perlakuan seperti ini jauh lebih adil, karena ia tidak akan menimbulkan kecemburuan kepada debitor-debitor yang tetap tertib dan aktif membayar kewajibannya kepada bank, sekalipun usahanya dalam kondisi yang memprihatinkan.
Dalam kondisi seperti ini, bank harus aktif untuk menemukan alternatif restrukturisasi dan mencarikan jalan keluar. Di antara restrukturisasi yang ditawarkan adalah jangka waktu kredit yang lebih fleksibel, sesuai dengan kemampuan cash flow yang dimiliki.
Bila perlu pejabat bank memberikan advis manajemen kepada debitor, termasuk memberikan solusi atas sumber pendanaan baru dalam jangka pendek, seperti divestasi harta tetap yang kurang produktif. Atau mencarikan calon investor yang berminat untuk menanamkan modalnya pada usaha debitor dengan imbalan dan jaminan yang jelas.
Selanjutnya, bank juga dapat menawarkan pemberian suku bunga kredit yang lebih rendah kepada debitor yang sedang mengalami musibah banjir. Ini harus dilakukan dengan penuh perhitungan.
Strategi seperti ini hanya dapat dilaksanakan jika ada penghematan yang diperoleh dari selisih antara biaya pengurangan suku bunga dengan pembentukan biaya pencadangan kreditnya. Dalam kondisi ini, posisi pihak bank masih lebih baik.
Namun, harus disadari bahwa pemberian suku bunga ringan tidak diberlakukan untuk selama jangka waktu restrukturisasi, tetapi hendaknya disesuaikan dengan peningkatan cash flow usaha debitor.
Selanjutnya, untuk kewajiban bunga yang tertunggak dapat ditunda pembayarannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan debitor. Kewajiban seperti ini tidak boleh dinihilkan, karena ia merupakan sumber pendapatan bagi bank.
Dengan adanya restrukturisasi kredit, diharapkan debitor dapat menerima beberapa insentif kemudahan dalam pembayaran kreditnya, salah satunya seperti yang telah diterangkan di atas.
Artinya, pembayaran kewajiban debitor kepada bank akan lebih ringan untuk sementara waktu, di mana dalam jangka waktu tersebut akan terjadi peningkatan modal intern (internal capital growth) usaha debitor.
Diharapkan, pelan-pelan pada akhirnya, debitor kembali mampu untuk melakukan aktivitas skala bisnisnya seperti semula. Pada saat itulah, kemampuan untuk membayar kewajiban perbankannya akan meningkat seperti pada saat sebelum adanya musibah banjir.
Sumber :http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar